KASUS PERBANKAN = PEMBOBOLAN DELAPAN BANK


JAKARTA-Mabes Polri kini menangani delapan kasus perbankan yang terjadi pada tahun 2010-2011. Jumlah kerugian akibat kasus-kasus pembobolan bank tersebut mencapai lebih dari Rp100 miliar. Semua kasus tersebut melibatkan 24 tersangka, dengan 11 tersangka adalah pegawai bank. Hal itu diungkapkan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Brigjen Pol Arief Sulistiyanto dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Senin (4/4). Menurut Arif, 11 pegawai bank yang terlibat berasal dari berbagai jabatan.

Di antaranya,  supervisor kantor kas, account officer, customer service, kepala operasional kantor cabang, wakil pimpinan cabang, kepala teller, relation manager, direktur utama Bank Perkreditan Rakyat (BPR), komisaris dan komisaris utama BPR.

Arief secara singkat membeberkan delapan perkara pembobolan bank yang kini ditangani Mabes Polri. "Delapan perkara tersebut kami akan uraikan secara singkat. Ada asas praduga tak bersalah, makanya nama tersangka kami sebutkan inisial,"  tuturnya.

Pertama, terjadi pada kantor kas Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tamini Square, Jakarta pada 13 Oktober 2010. Ada lima tersangka dalam kasus ini, salah satunya supervisor kantor kas BRI atas nama  XX. Modusnya adalah membuka rekening atas nama tersangka lain, kemudian memasukkan dan mengirim uang ke rekening tersangka lainnya.

Uang kemudian ditukar dengan uang dolar Amerika Serikat (AS). "Ini yang dimaksudkan uang  US$6 Juta yang akan ditukarkan dengan 'dolar hitam'  yang teman-teman pernah dengar. Ditukar dengan US$ 60 juta. Ternyata setelah ditukar, hilang uang itu, dan barang buktinya berupa batu bata,"  tutur dia.

Total kerugian dalam kasus ini diperkirakan sebesar Rp29,5 miliar. Perkaranya sedang ditangani oleh Polda Metro Jaya. Polisi bakal menjerat pelaku dengan pasal 49 KUHP atau Undang-Undang Tindak Pidana Perbankan.

Kedua, pemberian kredit dengan dokumen identitas palsu dan jaminan fiktif pada Bank Internasional Indonesia (BII) pada 31 Januari 2011. "Ada satu tersangka yaitu account officer di Kantor Cabang Pembantu (BII) Pangeran Jayakarta, (Jakarta)," kata Arief. Kerugian yang ditimbulkan dalam kasus ini sebesar Rp3,6 miliar.

Ketiga, tindak pidana perbankan berupa pencairan deposito dan  tabungan nasabah tanpa sepengetahuan pemiliknya di Bank Mandiri. Modusnya dengan memalsukan tanda tangan di slip penarikan, kemudian mentransfer ke rekening tersangka. Kasus ini dilaporkan 1 Februari 2011. "Nilai kerugiannya besar juga, Rp18 miliar," ucap Arief. Kejahatan ini dilakukan oleh CS, seorang customer service Bank Mandiri bersama lima tersangka lainnya.

Keempat, tindak pidana perbankan dengan mengirimkan berita telex palsu. Isinya perintah untuk memindahkan slip surat keputusan dengan membuka rekening peminjaman modal kerja. "Sehingga seolah-olah manajemen setempat memerintahkan salah satu kantor cabang  untuk memindahkan slip surat keputusan kredit," katanya.

Kasus Ini melibatkan seorang wakil pimpinan BNI Cabang Margonda, Jakarta berinisial RM, 37 tahun, sarjana ekonomi, jurusan Akuntansi. Kerugian kurang lebih Rp20 miliar.

Soal kasus BNI Cabang Margonda ini sudah diluruskan oleh Direktur Utama Bank BNI Gatot M Suwondo, Minggu (3/4). Menurut Gatot, upaya pembobolan gagal, karena sistem bank berhasil menghentikan transaksi itu.

Kelima, pencairan deposito milik nasabah oleh pengurus bank tanpa sepengetahuan pemiliknya di BPR Pundi Artha Sejahtera. "Ketika jatuh tempo deposito itu tidak ada dananya dan tidak bisa dibayarkan," ujar Arief.

Lima orang sudah ditahan di Polda Metro. Kasus ini melibatkan direktur utama BPR, komisaris, dua orang komisaris, satu komisaris utama, dan pelaku penjualan.

Keenam, tindak pidana perbankan yang dilakukan pegawai bank dengan cara melakukan penarikan secara berulang-ulang dan telah mengambil atau telah menggunakan uang milik kas dari Kantor Cabang Pembantu (KCP) Menara Bank Danamon, Jakarta. "Ini dilakukan oleh mantan teller Bank Danamon KCP Menara Bank Danamon, Jakarta. Seorang wanita," katanya. Kasus dilaporkan pada polisi 9 Maret 2011 dengan nilai kerugian Rp 1,9 miliar dan US$ 110 ribu.

Ketujuh, tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh kepala operasi Panin Bank dengan cara menggelapkan dana nasabah ke rekening pelaku tanpa sepengetahuan pemilik. Kejahatan ini dilakukan oleh  MAW, selaku Kepala Operasional Panin Bank Cabang Metro Sunter, Jakarta, dengan kerugian sebesar Rp 2,5 miliar.

Kedelapan, adalah tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh Inong Malinda alias Melinda Dee (47), mantan Senior Relationship Manager Citibank Cabang Landmark, Jakarta Selatan. Kasus ini sekarang menjadi buah bibir di tengah masyarakat. "Sampai saat ini baru tiga nasabah yang kami periksa. Selengkapnya kami masih menunggu audit dari Citibank," tutur Arief.

Sementara itu, seorang nasabah PT Bank Mandiri Tbk dan Bank Syariah Bukopin kemarin mengadu ke Bank Indonesia (BI) karena mengaku jadi korban pembobolan dana di kedua bank tersebut dengan nilai miliaran rupiah. Nasabah itu bernama Anang Syaifudin dan mengaku selaku Direktur Utama PT Medixie Sekawan Utama. Anang mengatakan dana PT Medixie Sekawan Utama dibobol manajer keuangannya bekerja sama dengan oknum pegawai kedua bank tersebut.

"Ada kasus kejahatan perbankan diduga ada oknum pegawai KCP (kantor cabang pembantu) Bank Mandiri Rawalumbu, Bekasi dan Bank Bukopin Syariah yang ikut bermain, bekerjasama dengan manajer keuangan PT Medixie Sekawan Utama Yekti Hartono," ujar Anang saat ditemui di Gedung BI, Jakarta.

Anang mengatakan, kasus pembobolan ini sudah dilaporkan ke pihak kepolisian terlebih dahulu, namun sampai sekarang belum ada kejelasan dari pihak Mabes Polri.

Ia pun menceritakan kronologis kasusnya. Pada 5 Mei 2010, Yekti sebagai manajer keuangan PT Medixie Sekawan melakukan pencairan cek ilegal di Bank Mandiri senilai Rp 720 juta. "Ini menyalahi prosedur perbankan karena otoritasi cek hanya kepada dua orang, yaitu saya dan Muhammad Fauzan serta stempel perusahaan. Sedangkan cek tersebut hanya ditandatangani satu orang dan diduga dipalsukan. Stempelnya pun palsu dan berbeda dengan spesimen yang ada di bank," papar Anang.

Kasus ini sudah dilaporkan juga ke Polsek Bekasi Timur dan Bank Mandiri hanya mengaku khilaf mencairkan cek tersebut.

Lalu kasus kedua adalah di Bank Syariah Bukopin Cabang Melawai, Jakarta Selatan. Yekti mencairkan rekening tabungan bisnis perusahaan senilai Rp7 miliar. "Ini diduga juga melibatkan oknum pegawai Bank Syariah Bukopin. Penarikan dilakukan dalam waktu singkat dari 27 Januari sampai 22 Maret 2010," imbuh Anang.

Kasus ketiga adalah pencairan rekening bisnis perusahaan Rp13,5 miliar oleh Yekti di Bank Mandiri KCP Rawalumbu pada 7 Januari sampai 26 April 2010. "Ini melibatkan Iis Widiarti Kepala Kantor Cabang Bank Mandiri Rawalumbu. Yang mengambil harusnya saya tapi tanpa konfirmasi dan surat kuasa saya," jelas Anang.

"Semua kasus ini sudah saya laporkan juga ke Polda. Saat ini tidak ada itikad baik dari pimpinan Bank Mandiri dan Bank Syariah Bukopin," tambah Anang.

Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Humas BI Difi Ahmad Johansyah mengatakan sudah menerima laporan dari Anang dan akan diteruskan ke bagian pengawasan bank.

Jangan Tertipu Wajah Cantik

Brigjen Pol Arief Sulistiyanto menjelaskan, modus kejahatan perbankan umumnya dilakukan dengan menyodorkan blangko kosong atau mencairkan tabungan, deposito, dan telex dengan tanda tangan palsu. Karena itu, Arief meminta masyarakat supaya tak mudah percaya dengan layanan bank. "Jangan terlalu percaya, meskipun dilayani dengan pegawai cantik-cantik," katanya.

Dalam jumpa pers itu, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan beberapa kasus pembobolan bank belakangan ini disebabkan kelemahan internal bank terutama pengawasan atasan. "Kami mengakui ada beberapa kelemahan terkait internal proses. Dari hasil pengawasan, pengamatan, ada tidak optimalnya supervisi atasan," kata Halim.

Selain itu, BI melihat kasus pembobolan bank itu muncul karena adanya kolusi antar pegawai, serta adanya nasabah yang cepat percaya pada pegawai secara berlebihan sehinga merugikan nasabah itu sendiri. "Perlu aturan di bank dan di BI sendiri. Seperti menetapkan cek dan ricek dalam proses hubungan antar nasabah dengan pegawai bank. Kedua, harus ada batasan maksimal misalnya satu pegawai menangani satu nasabah," katanya.

BI meminta seluruh penyelenggara jasa perbankan untuk menyempurnakan aturan internal guna mencegah terus terulangnya kasus pembobolan bank. "Hubungan nasabah dan pegawai bank harus selalu dicek. Bisa juga dengan membuat batasan nominal atau menerapkan sistem rotasi," katanya.

Halim menjelaskan, kerugian dana nasabah yang muncul karena kelalaian internal bank sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak bank. Ia menyatakan BI hanya bisa memberikan sanksi administratif pada bank yang bersangkutan berupa penurunan tingkat kesehatan bank itu. "Sedangkan yang terkait dengan tindak pidana perbankan, kami akan serahkan kepada Bareskrim untuk menindaklanjutinya," kata Halim.

Selain sanksi penurunan nilai tingkat kesehatan bank, BI juga berpeluang untuk melakukan uji kelayakan dan kemampuan dari para pejabat bank.

Ihwal rencana DPR untuk meminta BI mengkaji ulang izin Citibank sebagai bentuk sanksi atas pembobolan bank asing itu oleh Malinda Dee, Halim menilai hal itu tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. "Kita tidak bisa langsung menyatakan, kalau kesalahannya demikian kita tiba-tiba mencabut izin usaha suatu bank. Karena ada prosedur-prosedur yang harus dilalui, apakah ini masuk kategori yang berat atau tidak," katanya.

Tapi, kata Halim, dari kasus ini, yang perlu dipelajari adalah prosedur standar dari bank apakah sudah dijalankan atau belum. Sebab bank sentral menginginkan, kejadian ini tidak terulang kembali.

Dalam menelisik standar prosedur ini bank sentral juga harus teliti, karena terkait risiko operasional SOP bank sangat pelik dan individual manusia. "Bisa saja SOP yang baik, sistimnya sudah baik, tetapi kita tidak bisa menduga ada orang yang lima tahun yang lalu baik, tapi sekarang bisa berubah," katanya.

Yang diperlukan saat ini adalah standar prosedur yang bisa menjamin agar perubahan sekecil apa pun bisa secara cepat dilakukan preventifnya. "Dalam beberapa kasus, kami menemukan kelemahan itu dalam konteks jarangnya dilakukan rotasi. Atau jarang sekali melakukan penangawasan ketat pada bawahannya."

Halim juga menyatakan, BI tidak bisa langsung membekukan izin penggunaan perusahaan penagihan utang pada Citibank. "Jasa penagihan utang ini adalah suatu kebutuhan. Tidak hanya dilakukan oleh bank sebetulnya, tetapi juga oleh perusahaan yang lain," katanya.

Tetapi dalam konteks dengan bank, bank sentral akan mengevaluasi agar jasa penagihan utang bisa beroperasi tanpa harus merugikan kepentingan nasabah. BI akan belajar dari negara lain untuk ini. (tif/mio/dtc)
Prev